Kebahagian kecil bocah-bocah

Aku kadang tak mengerti pemikiran anak-anak. Terkadang mereka bahagia, senang, sedih marah karena sebuah hal besar bagi mereka, namun dianggap sepele oleh sebagian orang dewasa. Terkadang juga mereka tak peduli pada sesuatu hingga mengabaikan hal-hal yang tak berhubungan dengan mereka. Pemikiran mereka masih murni. Mereka tidak tahu akan ada kehidupan yang keras yang menunggu mereka di masa depan.
Saat ini aku sedang memandang pada segerombolan bocah yang sedang bermain di sebuah lapangan. Anak laki-laki terlihat bermain layangan, kelereng, dan ada juga yang bermain sepak bola. Sedangkan para gadis, pasti tahulah pastinya mereka bermain boneka dan ada juga yang bermain masak-masakan.
Mereka kadang tertawa, bahagia, seakan mereka hidup di dunia ini tanpa beban. Namun tawa mereka sangat menyenangkan, sehangat mentari. Seakan senyuman mereka itu menular. Membuat yang melihatnya ikut tersenyum. Oh! Sungguh lucunya mereka. Sungguh jika aku di beri kesempatan untuk di lahirkan kembali. Aku akan memilih untuk terus menjadi bocah-bocah yang hidup tanpa beban seperti mereka.
Semuanya normal pada awalnya. Hingga terjadi sebuah insiden yang membuat pemandangan menarik tadi berubah atmosfer. Para anak-anak laki-laki yang tadi asyik berada di dunia mereka sendiri kini mulai mendekati para anak perempuan, mengusilinya. Membuat para anak perempuan menjadi naik darah. Dari yang aku tangkap, anak-anak laki-laki ini lelah dengan aktivitas mereka dari bermain tadi, hingga mereka ingin bermain dengan anak-anak perempuan yang permainannya itu tidak menguras tenaga. Mereka tidak bermaksud mengganggu ataupun menjahili mereka. Namun, tahulah sendiri, perempuan itu selalu benar, mereka tidak pernah salah. Kalau mereka salah, perang dunia ketiga akan dimulai. Hehe!
Pertengkaran antara bocah perempuan dan laki-laki menjadi tak terelakkan. Mereka bertengkar. Namun dimata seseorang pasti itu terlihat sangat lucu. Namun harus ada orang yang harus melerai mereka. Mau tak mau, aku harus jadi penengah di antara mereka. Kulangkahkan kaki ku menuju ke tempat mereka.
“Hai, adik-adik. Sedang apa kalian?” Sesampainya aku ditempat mereka sekarang. Aku langsung menanyakan hal yang sudah ada jawabannya. Mereka menghentikan sejenak adu mulut mereka dan memandang kearahku. Mereka melongo. Mata dan mulut mereka sama membentuk huruf o. Sangat menggemaskan.
“Ini kak, kami diganggu mereka waktu main masak-masakan. Mereka mengacaukan semuanya, kak. Lihat alat-alatnya jadi jatuh. Kotorr!” Jawab anak perempuan berambut pendek. Tangannya yang tadi menunjuk ke arah anak laki-laki kini menuju peralatan masak-masak mereka yang tergeletak di tanah.
“Heh, Siapa yang mengganggu kalian. Kami Cuma ingin ikut bermain, tau!” Sahut anak laki-laki yang memiliki mata yang sipit.
“Tapikan, kata mama. Laki-laki kerjanya bukan memasak. Mereka harusnya berada diluar. Yang di dapur dan memasak itu kerjanya perempuan sebagai istri yang baik”.
Aku langsung sweatdrop ditempat. Dari mana mereka belajar kata seperti itu. Masih kecil sudah membicarakan hal-hal yang tidak seharusnya untuk anak seusia mereka.
“Memangnya adik tahu istri itu apa?” Aku menanyakan mereka pertanyaan yang bodoh.
“Hmmm.... Itu.... tidak tau kak. Apa itu kak? Apakah itu mainan? Atau makanan?”.
Sudah kuduga. Mereka tak tahu artinya. Yang ada di pikiran bocah seusia mereka itu hanyalah main, main, dan main. Tak ada yang lain. Aku menghembuskan nafas dalam-dalam. Mencoba kembali ke tujuanku sebelumnya, melerai pertengkaran mereka.
“Bukan makanan ataupun mainan. Itu... akan kalian ketahui kelak jika kalian sudah besar. Hehehe.”
“Yah.. Apa sih kak”. Mereka mengomel. Ada juga yang memajukan bibirnya kedepan. Dan itu lucu.
“Hehe.. Gini aja deh. Adik-adik, mau kakak bacakan suatu cerita, nggak?. Ceritanya tentang kisah pangeran dan putri kembar yang tidak akur dan selalu bertengkar, namun akhirnya dapat berbaikan karena mereka sadar pertengkaran itu tidak baik. Gimana, mau nggak?.”
Aku memasang senyum yang dipaksakan di akhir sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Untuk sesaat suasana menjadi hening. Mungkin mereka mencerna perkataanku tadi. Tak lama kemudian, mereka semua mengangguk secara bersamaan. Aku tersenyum.
“Wahhhh.. Makasih yah adik-adik yang cantik dan ganteng. Tapi sebelum itu kakak ingin kalian semuanya berbaikan terlebih dahulu. Bersalaman dan melupakan apa yang terjadi tadi, yah.”
Mereka ragu sejenak. Namun tak lama kemudian, mereka saling mengulurkan tangan masing-masing. Menjabat satu sama lain. Setelah itu mereka memasang senyum dan saling mengucapkan kata maaf. Aku yang melihatnya sangat terharu. Betapa para bocah selalu mudah melupakan apa yang telah terjadi dengan mereka dan tak pernah menaruh dendam satu sama lain. Sebaliknya mereka saling memaafkan seakan tak pernah ada yang terjadi.
“Nah. Gituu dong. Ayo, sekarang mari kita duduk bersama-sama. Kakak akan mulai membacakan ceritanya.”
Mereka langsung duduk berjejeran di lapangan hijau tersebut. Cuaca sore itu sejuk, ditambah dengan pepohonan yang menjadi pelindung di atas menjadikan suasana semakin menyenangkan. Aku juga duduk di depan mereka. Mereka menatapku dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Menantikan cerita apa yang akan aku sampaikan.
“Jadi ceritanya adalah......”
                                                                                                                          


                                                                      END

Comments

Popular Posts